Pages

Tuesday, June 24, 2014

Banyuwangi - The Sunrise of Java (Day 2)

Banyuwangi
Sabtu, 21 Juni 2014

Telat bangun!!! Padahal udah pasang alarm jam 00.00 loh dan tadi sebetulnya udah bangun juga. Tapi nambah tidur2an yang niatnya cuma 15 menit eh malah kebablasan sampai jam 00.30!

Kedebag kedebug cuci muka dan ganti baju. Beruntung perlengkapan untuk hari ini sudah disiapkan dan masuk ke dalam backpack. Gak tau deh kalo belum dimasukkin, bisa2 banyak yang ketinggalan tuh :(

Akhirnya jam 01.00 kita turun dan siap berangkat. Padahal jadwal semula kita akan berangkat jam 00.30. Ya udin lanjut bobo manis di mobil. Perjalan menuju pos pertama Paltuding tempat pemberhentian semua kendaraan memakan waktu sekitar 1,5 jam dengan jalan yang ajrut2an. Tapi secara masih ngantuk ya berasa kayak diayun2 aja :D

Kawah Ijen

Pas keluar mobil di Paltuding.... brrrrr.... dingin banget. Padahal udah pake thermal jacket. Langsung keluarin earmuff dan sarung tangan. Eh guide yang mendampingi kita bilang udah pada dapet snack pagi kan di mobil? Hellooowww... snack yang mana ya? Saya sih tadi lihat ada tiga tumpuk kotak styrofoam dalam satu plastik. Tapi secara gak tau isinya apa dan punya siapa, ya dibiarin aja. O... ternyata itu snack kita toh. Ngobrol dong sebelumnya :D

Setelah semuanya kumpul, kita briefing untuk mulai jalan (agak) menanjak. Perkiraan sampai trekking menanjak sekitar 3 km kemudian untuk turun ke kawah mendekati danau belerang dan api biru sekitar 800 meteran. Huffftt....

Secara gak punya trekking pole (tongkat untuk bantu menanjak) saya dikasih tongkat bambu sama guide. Lumayan lah untuk pegangan.

Sebetulnya sih gak nanjak2 amat, tapi secara saya jarang banget ikutan trekking/hiking ya berasa ngos2an dan kaki pegel ditambah nyawa belum ngumpul. Saya sempat beberapa kali berhenti untuk istirahat dan merasa saya adalah orang yang jalan paling belakang dari rombongan ini. Tapi ternyata saya jalan lumayan cepat loh. Terbukti pas di papan peringatan untuk tidak turun ke kawah saya tuh perempuan pertama dalam rombongan yang nyampe duluan. Saat jalan menanjak beberapa kali saya bertemu dengan Bapak2 penambang belerang dengan keranjang rotan yang masih kosong.

Juga banyak para pecinta alam yang terbagi dalam beberapa kelompok. Beberapa dari mereka yang perempuan berhijab memakai rok panjang. Ebuset, hebat banget tuh bisa nanjak pake rok panjang.

Karena masih gelap dan sudah ditinggal temen2 peserta  yang laki2, saya memutuskan berhenti, gak berani untuk turun secara harus menapak batu2 besar, mana gelap lagi. Gak lama kemudian datang peserta perempuan lain bersama ayahnya. Si Om bilang "Ayo kita turun. Sekuatnya kita aja. Kalo di tengah jalan gak sanggup untuk meneruskan ya berarti memang kemampuan kita cuma segitu. Yang penting jalanin dulu".

Wah... jadi semangat lagi deh. Bertiga kita turun bareng. Kadang bingung mau lewat mana secara batunya gede banget untuk dilewatin. Sepanjang ingatan saya, waktu turun menuju kawah Ijen, 2x saya dibantu untuk melewati batu2, mereka mengulurkan tangan kepada saya. Pertama oleh entah pemandu atau wisatawan perempuan dengan aksen Mandarin dan kedua oleh laki-laki pemandu lokal. Alhamdulillah... di setiap perjalan saya bertemu dengan orang2 baik. Dan itu berarti di lain kesempatan saya harus membayar kebaikan mereka dengan berbuat baik untuk orang lain. *sikap

Di tengah jalan saya tanya apakah tempat lokasi api biru masih jauh dan apakah api biru masih terlihat kepada seorang pengunjung yang sudah selesai melihat api biru dan beranjak keatas. Dia bilang udah gak terlalu  jauh dan masih kelihatan api birunya tapi kalau saya nyampe sana kayaknya sih api birunya udah hilang. Ihhh... tuh lekong (laki) jahara (jahat) deh. masa' ngejatohin mental gitu.

Subhanallah...  saya masih dikasih kesempatan untuk melihat si api biru. Konon katanya itu bukan api sungguhan tapi merupakan bayangan yang tercipta dari gas. Makanya api biru ini akan segera menghilang saat sinar matahari muncul.



Agak lama saya dan teman2 di kawah Ijen. Foto sana sini kemudian kembali naik keatas. Kagum sama Bapak2 penambang belerang. Mereka mikul belerang yang dimasukkan kedalam keranjang rotan yang beratnya bisa mencapai puluhan kilo dan menempuh jalan berbatu dan menanjak. Saya yang cuma bawa dirinya aja udah ribet menuju dan kembali dari kawah ini.

Di Ijen ini saya membeli beberapa belerang/sulfur yang dicetak dengan bermacam bentuk. Ada Hello Kitty, Teddy Bear, kura2 dsb.

 

Sampai diatas pemandangan yang terlihat gak kalah indahnya. Deretan bukit berwarna hijau! Oiya, untuk turun menuju Paltuding sama ribetnya seperti saat naik. Bukan karena ngos2an gak kuat napasnya tapi karena licin. Semakin siang/terang pasir yang melapisi jalanan menjadi kering menjadikan jalan menurun menjadi licin. Walhasil beberapa dari teman2 saya terpeleset saat jalan menurun. Tips dari saya, sebisa mungkin pilih jalan yang agak basah untuk menghindari terpeleset.

Saya jadi tau kenapa Banyuwangi disebut "The Sunrise of Java". Karena di matahari pertama kali muncul di pulau Jawa ya di Banyuwangi ini.

Semakin siang semakin banyak orang yang naik menuju kawah Ijen. Beberapa dari mereka itu orang tua dengan pakaian dan alas kaki seadanya. Dalam artinya mereka memakai baju biasa bahkan gamis panjang dan cuma memakai sandal. Memang sih mereka jalannya nyantai, tidak seperti kita yang ngejar target; liat si api biru!

Alas Purwo

Karena sampai di Paltuding lagi sudah kesiangan, maka saya dan beberapa teman yang baru tiba, sarapannya di dalam mobil yang akan menuju Taman Nasional Alas Purwo. Gak sempat ganti baju. Pokoknya langsung berangkat! 

Sarapannya apa nih? Bentuknya sih nasi nungkus tapi isinya... endang bambang (enak banget) loh... Nasi pecel pake bakwan jagung plus ada udang goreng tepung dan kerupuk udang. Saya yang tadinya ngerasa itu nasi bungkus porsinya terlalu banyak eh abis juga akhirnya.

Dari Paltidung menuju Alas Purwo jauhnya minta ampun! Ada tuh sekitar 3 jam perjalanan. Nyaris sepanjang jalan dari Paltidung menuju Alas Purwo perlu diperbaiki karena gak mulus.

Di tengah jalan staff humas Pemda Banyuwangi yang menyertai di dalam rombongan bilang kita akan makan siang dulu sebelum masuk ke TN Alas Purwo. Apppaaah?! Makan lagi? kayaknya saya belum lama selesai makan pagi deh :D

Pak Humas juga cerita dan sharing foto dari kelompok Family yang tadi pagi bersepeda santai bareng Pak Bupati. Sangat bersyukur saya memilih kelompok Adventure karena saya kan gak bisa ngayuh sepeda :P

Betul saja, di tengah perjalanan menuju Alas Purwo, rombongan singgah di sebuah rumah makan. Sate kambing dan ayam juga gulai! Kalau saya boleh milih, saya akan lebih senang kalau dijamu dengan makanan tradisional loh. Apalagi saat saya di Banyuwangi ini, pengen banget makan rujak soto! Etapi gak pa2 deh makan sate. Makasih loh Pak kita udah ditraktir :). Di rumah makan tersebut saya sekalian ganti baju.

Masuk ke dalam taman nasional Alas Purwo harus melewati gerbang dan ada loketnya. Di sekitar bangunan loket tampak beberapa monyet lalu lalang. Jauh masuk ke dalam terdapat pura yang masih digunakan warga beragama Hindu. Pura tersebut disebut Pura Giri Selaka dan merupakan bangunan bersejarah.

Menuju padang savana Sadengan tempat banteng2 merumput melewati hutan jati yang di beberapa area terlihat kering meranggas.

Menurut saya pribadi nih, wisata ke padang savana tuh agak riskan karena menyangkut jam biologis hewan. Kalau kita datang pas jam hewan2 tersebut makan siang, pasti akan menarik. Tapi... kalau diluar jam makan mereka, ya ngebosenin deh secara cuma ngeliat hamparan padang rumput. Saya pernah ngalamin yang kayak gini di Taman Nasional Ujung Kulon. Kita datang jam 1an siang ke padang savana Cidaon eh ternyata bukan jam makan para banteng. Begitu balik lagi sekitar jam 4 sore, barulah kita bisa melihat para banteng merumput.

Nah... kali ini kejadian lagi di Sadengan. Pas kita datang, yah... cuma liat padang rumput doang. Ada sih beberapa banteng tapi jauh banget dan sedikit! Padahal kemarin saya sudah sampaikan ke panitia loh, kalo mau ke padang savana sebaiknya disesuaikan dengan jadwal merumput hewan2 yang ada disana.



Tau gitu mending ke pantai Plengkung deh. Etapi informasi dari life guard di pantai Pulau Merah kemarin sore, ijin untuk masuk pantai Plengkung/G-Land harus melalui Bali karena propinsi itu yang mengelola. Ebuset jauh banget yak!

Tapi dari nguping obrolan Pak Humas Pemda, ternya dari Pemda sudah  membuat reservasi untuk masuk ke G-Land namun dari pihak panitia Detik Travel memilih Alas Purwo karena sudah di publish di itinerary. Duuuhhh... sayang banget ya. Gagal deh lihat pantai dengan ombak terkeren nomer 2 di dunia setelah Hawaii. Padahal udah deket banget dari Sadengan dan masih di lokasi Alas Purwo. *geraaammm

Sekitar jam 2an kita meninggalkan Sadengan. Di perjalanan kita sempat tanya2 besok harus berangkat jam berapa ya dari hotel menuju bandara karena pesawat kita jam 07.05 dan gak tau jarak tempuhnya. Idealnya sih 1 jam sebelum keberangkatan udah sampai di bandara. Tapi gak ada yang bisa kasih jawaban. Bapak dari humas Pemda bilang kalaupun kita datang telat nanti bisa minta ditungguin, pesawat untuk tidak terbang dulu. What!!! Mungkin bisa nahan pesawat di bandara Banyuwangi tapi kan kalo sampai telat datang di Surabanya bakal mengganggu jadwal kedatangan pesawat lainnya, juga bisa rebutan slot parkir. Udah gitu kan kita bakal lanjut ke Jakarta dengan pindah pesawat. Yang ada kita bakal ditinggal beneran sama pesawat dari Surabaya ke Jakarta!

Sampai hotel sudah sore menjelang malam. Kita sepakat jam 18.30 sudah rapih dan siap berangkat menuju desa wisata Kemiren untuk makan malam dan menonton pertunjukkan kesenian tradisional.

Sembari nunggu gantian kamar mandi, saya beres2 dan packing. Jadi besok gak ada barang yang ketinggalan.

Jam 18.30 teng saya dan teman sekamar sudah nunggu di parkiran. Dan apa yang terjadi? Ternyata kelompok Family belum datang dan kita diminta untuk menunggu mereka. Hellooowww... mereka akan datang jam berapa? Belum lagi nunggu mereka untuk bersih2. Sementara kan kita harus ke desa Kemiren. Bukankah lebih menghemat waktu kalo mereka langsung kesana. Lagian semestinya kan harus sesuai jadwal jadi sudah bisa dikira2 waktu dari masing2 program.

Ternyata panitia sudah memberi informasi via SMS kepada seluruh team Adventure bahwa keberangkatan diubah menjadi jam 19.00. Eh plis deh, saya dan teman sekamar saya tuh gak terima SMS atau panggilan telepon apapun dari panitia. Tau gitu kan kita bisa leyeh2 dulu di kamar.

Desa Budaya Kemiren

Akhirnya jam 19.00 team Adventure berangkat ke desa Kemiren. Lumayan jauh juga loh perjalanannya.

Sampai di desa Kemiren, kita disambut oleh team dari Humas Pemda. Oh... ternyata rombongan kita tuh dapat undangan khusus dari Pak Bupati untuk datang ke acara ini.

Tadinya saya pikir acara akan diadakan di dalam pendopo tapi ternyata ini lebih seru!

Makan malam digelar secara lesehan di jalan desa (jalannya udah di-paving) beralaskan tikar dengan menu pecel pithik; menu asli suku Osing, suku asli Banyuwangi di desa Kemiren. Nasi putih yang pulen dengan lauk pithik pecel. Enak banget deh! Saya ditawari minum air dari kendi dan juga air kelapa. Saya mau semuanya!

Pecel pithik itu ayam panggang (tidak terlalu kering) yang terbuat dari pitik ayam kampung kemudian dicampur bumbu urap yang terdiri dari parutan kelapa dengan berbagai bumbu dan kacang yang sudah dihaluskan.

Beruntung saya duduk bersebelahan dengan seorang Bapak yang pernah menjabat sebagai Camat di desa Kemiren.

Bapak itu cerita bahwa pecel pithik ini tidak dijual umum namun bisa dipesan. Dan menu pecel pithik ini akan hadir di setiap acara2 tradisi seperti Barong Ider Bumi yang dilaksanakan setiap tanggal 2 Syawal dan Selametan Tumpeng Sewu. 

Juga Pak ex Camat ini menceritakan mengenai tarian Seblang oleh suku Osing. Semacam tarian Sintren dari Cirebon. Dimana sang penari (perempuan muda yang masih perawan) akan kerasukan dan menari. Pencarian penari Seblang pun ada ritualnya dan tidak sembarangan memilih penari.

Selesai dengan makan malam yang sangat nikmat itu, kita menuju tempat pertunjukkan seni. Terdengar suara alat musik tradisional yang ternyata dimainkan dari atas panggung kecil yang didirikan dengan menggunakan batang bambu. Sepanjang jalan diterangi dengan obor.

Sebelum mendekat ke panggung pertunjukkan terdapat lapak yang menyajikan aneka jajan pasar. Wow... suka banget deh. Sebagian besar jajan pasar itu saya kenal, mungkin namanya aja yang beda. Ada lepet, kue cucur, lupis dan lain sebagainya. Kalau saja perut saya masih cukup, pasti akan saya cicipi semuanya! Selain jajan pasar, disediakan juga minuman kopi panas yang kopinya berasal dari desa Kemiren.Duuuhhh... wangi kopinya itu loh yang sangat menggoda.

Beruntung di sini dijual kopi bubuk asli dari Kemiren. Karena kemarin saat ke toko oleh2 saya kog tidak melihat ada kopi bubuk ya.



Ibu2 yang menjaga tempat jajan pasar ini semuanya berkebaya warna hitam. Tadinya saya pikir itu adalah seragam panitia untuk acara ini. Tapi ternyata saya salah! Kebaya hitam adalah pakaian wanita suku Osing!

Saya yang sangat menyukai pertunjukkan tradisional, tidak menyia2an kesempatan ini. Saya dan teman saya langsung cari tempat duduk yang strategis untuk penonton pertunjukan ini.

Panggung dibangun diatas kali Gulung dan pertunjukkan kali ini bercerita mengenai asal usul Banyuwangi yaitu legenda Sri Tanjung. Dari informasi bocoran yang saya terima, di akhir cerita ada adegan pemeran Sri Tanjung benar2 menceburkan/menjatuhkan diri ke sungai. Wuih... pasti keren tuh. Gak kalah deh sama pertunjukkan Siam Niramit di Bangkok :D

Sayang seribu sayang... saya tidak bisa menonton pertunjukan ini sampai selesai.  Karena rombongan kami harus kembali ke penginapan. Hmmm... padahal kan kesempatan gak selalu datang dua kali dan saya gak tau kapan bisa menonton pertunjukkan ini lagi :(

No comments:

Post a Comment